Ungkapan sengsara membawa nikmat adalah sebuah ungkapan yang cukup populer bahkan ada sinetronnya. Namun, ungkapan nikmat membawa sengsara tidaklah populer padahal realitasnya ada. Nikmat membawa sengsara bisa terjadi pada siapapun bahkan ini dapat terjadi pada pendidik di negeri ini. Padahal pendidik idealnya menjadi contoh peserta didik dan contoh sosial dalam menjalani kehidupan. Pendidik harus sejahtera, bermartabat dan terlindungi dalam kehidupannya mengingat pendidik adalah penentu masa depan bangsa.
Bukankah tunjangan sertifikasi bagi guru adalah sebuah nikmat? Bukanakah dengan adanya sertifikasi pinjaman ke bank bisa lebih besar? Bukankah ini sebuah fasilitas yang cukup nikmat? Namun tidak sedikit para guru yang menjadi sengsara gara-gara nikmat sertifikasi. Ini namanya sengsara membawa nikmat. Awalnya manis karena mendapatkan tunjangan sertifikasi ujungnya sengsara.
Menurut Ketua PGRI Kota Sukabumi DR (Cand) Sanusi Harjadireja setidaknya dengan adanya sertifikasi para guru terbagi dalam dua polariasi gaya hidup. Pertama guru yang hidup sesuai dengan kebutuhan (terukur dan rasionable) dan yang kedua guru yang hidupnya berjalan sesuai keinginan, pengeluaran tidak terukur dan “terserang” gaya hidup konsumtif.
Menurut guru senior SMAN 1 Kota Sukabumi E. Komarudin, Ia mengatakan “ Dinas pendidikan harus selektif dalam memberikan rekomendasi terhadap para guru yang hendak meminjam uang pada bank.” Bagi E. Komarudin guru yang meminjam ke bank harus guru yang kondisi financial keluarganya sehat. Bila tidak sehat kemudian direkomendasi oleh petugas terkait dinas pendidikan sama artinya menyimpan “bom waktu”. Mungkin bagi E. Komarudin, dinas pendidikan harus mengetahui peta guru-guru yang bermasalah kronis secara finansial selain masalah-masalah kompetensi profesional. Tidak menutup kemungkinan guru-guru yang finansialnya bermasalah akan berkinerja buruk dan mengganggu stabilitas internal satuan pendidikan tertentu.
Seharusnya guru mampu memanage keuangannya, tidak besar pasak daripada tiang. Guru yang tidak sejahtera karena tak mampu mengelola keuangan keluarga dengan baik akan berdampak pada kinerja. Kinerja buruk karena gaji minus dapat terjadi pada seorang guru karena secara psikologis spiritnya dedikasinya akan melemah. Manusia normal, bekerja untuk mencari rezeki, bila rezeki dalam bentuk gaji sudah habis bahkan minus ditanggal gajian maka kinerja guru pasti buruk.
Di beberapa daerah sertifikasi mendorong tingkat perceraian pada keluarga guru. Ini menjelaskan adanya realitas “nikmat membawa sengsara”. Harusnya dengan adanya sertifikasi tingkat harmonisasi keluarga para guru semakin baik. Realitasnya terdapat kenaikan angka perceraian terutama gugat cerai dari pihak perempuan. Di beberapa daerah juga ada “ijonisasi” sertifikat pendidik. Ini sebuah realitas yang harus menjadi pemikiran bersama dan harus ada solusi cerdas yang terbangun dari kesadaran personal para guru dan “kesadaran” dari dinas pendidikan dalam meregulasi beragam hal.
Dalam Bulletin Al Mutsalaa (Vol. 14/04-2011) kolumnis Johan Wahyudi menuliskan, selama tahun 2010, tercatat 60.000 perkawinan dan 13.000 perceraian. Dari 80% angka perceraian tersebut adalah gugat cerai dari pihak istri. Para pelaku cerai gugat tersebut mayoritas adalah guru. Diduga karena kenaikan tunjangan sertifikasi guru. Mengapa banyak orang menginginkan perceraian, apalagi keinginan itu datang dari pihak istri dengan alasan telah memiliki penghasilan cukup berkat kenaikan tunjangan gaji? Ini realitas “ sertifikasi nikmat membawa sengsara”
Bahagia itu ukurannya tidak dimateri melainkan dihati. Hati yang selalu bersyukur atas segala nikmat yang Tuhan berikan. Kecerdasan dalam mengelola rezeki dan volume rasa syukur dalam hati menjadi bagian terpenting dalam menjalani kehidupan. Rezeki berlimpah bagi yang tak mampu mengelolanya akan berakhir sengsara. Sulitnya rezeki bagi pribadi yang penuh rasa syukur dan cerdas dalam mengelola rezeki tak terlalu menyengsarakan. Jadi intinya rezeki itu makhluk yang besar kecilnya menjadi nomor dua setelah kecerdasan dalam mengatur dan kuatnya rasa syukur.
Mari para guru bersyukur dengan adanya tunjangan sertifikasi dengan cara memange financial internal keluarga secara ketat. Safir Senduk seorang penasehat keuangan keluarga menyatakan “Menjadi kaya bergantung 100% pada apa yang Anda lakukan terhadap keuangan Anda, tidak selalu pada berapa gaji Anda.” Pendapat Senduk banyak benarnya mengingat banyak keluarga sederhana namun mampu mencetak sarjana bagi anak-anaknya. Tapi tidak sedikit keluarga kaya/sejahtera yang gagal dalam membangun generasi yang lebih baik. Hindari nikmat membawa sengsara karena tidak lebih baik dari sengsara membawa nikmat.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Ketua PGRI Kota Sukabumi
Sertifikasi, Nikmat Membawa Sengsara
Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 20.04
Baca juga artikel di bawah ini
Jika Anda menyukai artikel di atas silahkan klik di sini, atau berlangganan gratis artikel terbaru, ketik e-mail Anda di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar