Home » » Marwah Guru, Tergantung Kualitas Guru

Marwah Guru, Tergantung Kualitas Guru

Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 20.13

Prof Dr Sunaryo Kartadinata menyatakan marwah guru menggambarkan kewibawaan dan harkat serta martabat guru yang seharusnya tidak bisa dihilangkan dengan teknologi canggih sekalipun.  Marwah guru bagi Sunaryo terutama teruji pada saat proses pembelajaran di ruang kelas. Apakah  seorang guru mendapat empati dan simpati dari peserta didiknya? Bila peserta didik lebih asyik dengan teman dan gagetnya  saat di ruang kelas maka marwah guru berada dalam masalah.

Marwah guru  hadir bukan  karena  sepeda kumbang berganti menjadi avanza dan “dahsyatnya” gerakan memulyakan guru oleh Mendikbud Anies Baswedan dengan jargon “VIP-kan Guru-guru Kita”. Marwah guru berpulang pada performa guru itu sendiri. Performa guru sangat ditentukan oleh banyak hal yang melatar belakanginya.  Bahan dasar gurunya  sangat menentukan gaimana marwah guru  dapat dibangun dengan baik atau sulit.  Marwah guru adalah sebuah realitas ideal  yang harus dihadirkan pada realitas kolektif guru-guru Indonesia. Korelasi marwah guru dengan pembangunan karakter bangsa akan sangat menentukan. 
Mengembalikan marwah guru di era ketika guru bukan satu-satunya sumber belajar menjadi sangat sulit.  Lebih sulit lagi ketika guru yang tampil di ruang kelas adalah guru-guru yang kuber (kurang bergaul), kudet (kurang update)  kumel (kurang melihat kenyataan) dan kucel (kurang cerdas dan loyo).  Guru yang kuber, kudet, kumel dan kucel bagi peserta didik saat ini sudah tidak dibutuhkan. Mereka (baca; peserta didik) saat ini membutuhkan guru-guru yang hebat dan serba memahami fenomena kekinian yang ada dalam dunia peserta didik.

Dalam  analisa penulis setidaknya ada beberapa langkah untuk mengembalikan marwah guru atau mempertahankan harkat martabat guru, yang dimaksud adalah; pertama guru harus mencintai profesinya dan  sangat bangga berada diruang kelas  dan dimanapun saat bersama dengan peserta didiknya.  Terutama kebanggaan  berada di ruang kelas  beserta peserta didik akan melahirkan mental belajar yang baik.  Peserta didik akan dapat membedakan dengan mudah mana guru yang “gatel” di kelas dan guru yang nyaman dikelas.
Peserta didik akan dapat membedakan mana guru yang malas-malas di kelas dengan yang full semangat dikelas.  Peserta didik adalah makhluk berperasaan yang dapat menangkap aura  cinta kasih dan semangat gurunya. Ia adalah manusia yang butuh perhatian dan selalu memperhatikan bila   gurunya menarik dan penuh semangat. Guru yang mampu memahami apa yang mereka inginkan dan mengetahui apa yang sedang mereka alami saat ini akan jauh lebih diterima. 

Pembelajaran yang disampaikan di ruang kelas hendaknya menjadi  media membangun kedekatan dengan para peserta didik.  Penulis menganggap touch (sentuhan) bagi peserta didik lebih penting dari teaching (materi ajar) bagi peserta didik. Sentuh dulu secara personal dan klasikal peserta didik baru kemudian  mengajarkan mata pelajaran. Ini sebenarnya  tersambung  dengan kompetensi utama guru yakni kompetensi pedagogik.

Komunikasi yang baik dalam ruang kelas adalah ketika semuanya saling mengenal dengan baik. Semuanya akrab, penuh kasih dan saling menghargai untuk sama-sama belajar.  Guru dan siswa  sebenarnya posisinya sama sebagai  pribadi  yang sedang belajar.  Mungkin yang membedakan adalah guru sudah  berusia dan dewasa, guru bangkunya di depan sendiri, guru lebih memiliki autoritas di kelas, guru adalah pekerjaan, guru adalah pemberi nilai, guru adalah  menentukan kenaikan kelas dll.

Kedua guru harus lebih pembelajar dibanding peserta didik dan masyarakat. Bila guru hanya mempelajari materi ajar yang  akan diberikan pada peserta didik maka guru akan banyak ketinggalan informasi.  Selain kompetensi professional yang berkaitan dengan konten materi ajar yang harus disampaikan pada peserta didik guru harus memahami banyak hal. Memahamai  sejumlah informasi  mulai dari UUGD, Sisdiknas, KEGI, DKGI, LKBH,  BOS, UU Perlindungan anak, UU Keterbukaan Informasi, Kode Etik Jurnalistik, NGO dll. sebagai  pengetahuan yang melengkapi sosok guru yang disangkakan masyarakat serba tahu.
Guru yang pembelajar adalah guru yang mengerti pentingnya memahami hal-hal baru yang terus berkembang.  Guru yang pembelajar adalah guru sejati karena Ia  punya tanggungjawab moril sebagai  manusia yang dianggap serba tahu. Ia punya tanggung jawab “membela”  profesi guru terhadap tuntutan  publik yang masih menganggap para guru sebagai nara sumber sosial.  Kehadiran  guru di masyarakat masih menjadi “perhitungan” dan para guru harus mempertanggung jawabkannya.

Ketiga guru harus terlibat membangun organisasi profesi yang baik. Organisasi profesi yang digeluti menjadi media kebersamaan membangun kekuatan profesi, perjuangan dan ketenagakerjaan yang baik.  Guru harus di-SWOT oleh guru-guru sendiri. Mengukur potensi para guru, kelemahan para guru, tantangan  para guru dan bahkan peluang para guru dalam memahami  tuntutan perubahan  zaman.  Men-SWOT eksistensi para guru tentu saja harus didasari objektifitas dimana guru harus terbebas dari kepentingan politik dan  tidak  taat buta pada birokrasi.  Organisasi profesi harus independen dan diurus oleh guru-guru yang benar-benar memiliki kecintaan  serta kebanggaan pada dunia keguruan.

Organisasi profesi adalah satu kekuatan pengembangan diri para guru plus “pertahanan” diri dari dinamika  eksternal (baca: terutama politik) yang terkadang  mencaplok komunitas guru sebagai komoditas politik.  Guru bukan aktor ditataran politik praktis namun  guru adalah informator  tentang beragam dinamika sosial politik yang terus berkembang.  Guru adalah “penerjemah” dari realitas sosial yang  berkembang bila masyarakat menanyakan padanya.

Cinta profesi sepenuh hati, pembelajar sejati dan organisasi profesi yang baik akan meminimalisir “ambruknya” marwah guru dihadapan peserta didik dan msayarakat. Jangan sampai terjadi beragam  kenakalan guru  dalam bentuk penipuan, penggelapan, miras dan beragam hal buruk lainnya yang tak pantas dilakukan oleh guru. Sekali lagi, masyarakat  memandang guru harus menjadi rujukan sosial  dalam beragam hal, bukan sebaliknya. Intinya marwah guru ada di tangan para guru.

Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Ketua  PGRI Kota Sukabumi)

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Ketua PGRI Kota Sukabumi

Ketua PGRI Kota Sukabumi



 
Support : Matematika SMA | PGRI Citamiang | Catatan
Copyright © 2013. PGRI Kota Sukabumi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger