Home » » Dunia Pendidikan Bukan Kapal Pesiar

Dunia Pendidikan Bukan Kapal Pesiar

Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 19.56

Mungkin hanya di Indonesia sistem pendidikan menggunakan dua kurikulum yang berbeda dan ini tertuang dalam Permendikbud No 160 Tahun 2014, plus diberlakukan di tanggung waktu. Waktu  menjelang pembagian raport semester ganjil menuju semester genap.   Pemerintah sepertinya menganggap dunia pendidikan adalah ibarat kapal induk  yang besar maka diperlukan dua mesin turbo yakni mesin Kurtilas (K-13) dan mesin KTSP (K-06). Nampaknya, bagi Mendikbud Anies Baswedan mesin Kurtilas dan mesin KTSP adalah dua mesin yang tepat untuk  menggerakan  kapal induk pendidikan Indonesia saat ini.
Sebelumnya Mendikbud Anies Baswedan dihadapan seluruh kepala dinas pendidikan se Indonesia menjelaskan bahwa “Mengubah pendidikan itu seperti mengubah arah kapal tanker, bukan seperti mengubah arah speed boat.” Artinya, begitu sulit dan tidak semudah membalikan arah speed boat yang kecil dan lincah.  Dibutuhkan upaya maksimal bersama semua elemen bangsa yang memiliki niat  baik untuk membangun bangsa ini lebih maju.  Realitas pendidikan Indonesia saat ini  menurut Anies Baswedan berada dalam kondisi “gawat darurat”.

Dalam konsep Mendikbud  Anies Baswedan ada 7 elemen ekosistem pendidikan yang harus  ideal, yakni : 1) Sekolah kondusif, 2) Guru penyemangat, 3) Orangtua terlibat, 4) Warga peduli, 5) Industri suportif, 6) Organisasi profesi suportif dan 7) Pemerintah suportif.  Ketujuh  elemen ini menjadi  hal yang sangat penting untuk mensuport  gairah dinamika dunia pendidikan agar terus bertumbuh lebih kondusif. Keseriusan ketujuh elemen akan menetukan bagaimana pendidikan Indonesia kedepan, apakah masih gawat darurat atau sudah mapan?
Selanjutnya Mendikbud Anies Baswedan menjelaskan setidaknya ada 7 jalan revolusi mental untuk memperbiki pendidikan Indonesia yakni : 1) Mengubah paradigma pendidikan “berdaya saing” menjadi pendidikan “mandiri dan berkepribadian”, 2) Merancang kurikulum berbasis karakter dari kearifan lokal serta vokasi yang beragam berdasarkan kebutuhan geografis daerah dan bakat anak, 3) Menciptakan proses belajar yang menumbuhkan kemauan belajar dari dalam diri anak, 4) Memberi kepercayaan penuh pada guru untuk mengelola suasana dan proses belajar pada anak, 5) Memberdayakan orangtua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak, 6)  Membantu kepala sekolah untuk menjadi pemimpin yang melayani warga sekolah, 7) Menyederhanakan birokrasi dan regulasi  pendidikan diimbangi pendampinan pengawasan.

Dari tujuh elemen ekosistem pendidikan dan tujuh jalan revolusi mental nampaknya cukup menjawab permasalahan pendidikan di Indonesia, namun  bagaimana aplikasinya? Ini yang sulit dan membutuhkan dukungan semua pihak terutama pemerintah. Kenyataannya  masyarakat dan para pekerja dunia pendidikan merasakan adanya gonjang-ganjing, terutama masalah kurikulum 2013. Datangnya mendadak, dianggap setengah matang, dihentikan bagi yang belum  tiga semester dan dilanjutkan bagi yang sudah tiga semester menjalankan kurikulum 2013. 

Permendikbud No 160 tahun 2014 meneguhkan bahwa  pendidikan kita hari ini menggunakan dua kurikulum. Baru dalam sejarah NKRI ada dua kurikulum yang berlaku dalam kurun waktu yang sama. Realitas ini politis, pragmatis atau jalan tengah? Ini sebuah dinamika yang tak perlu sebenarnya karena menimbulkan “kegaduhan” dalam  entitas pendidikan yang seharusnya sangat kondusif. Kita berharap dunia pendidikan dapat terhindar dari tertularnya kegaduhan-kegaduhan politik yang menggejala saat ini.
Cendikiawan Kota Sukabumi Asep Deni mengatakan “Dunia pendidikan adalah kapal perang, bukan kapal pesiar”. Konsekuensinya adalah semua orang yang terlibat dalam dimensi pendidikan terutama dalam birokrasi pendidikan harus  selalu dalam keadan “siaga perang”.    Berleha-leha, santai, tidur dan banyak rekreasi hanya ada di kapal pesiar. Dalam kapal perang (baca: birokrasi pendidikan) semuanya harus siaga dan gerak cepat menangani berbagai hal urgen.

Kecepatan, kecekatan dan kualitas terbaik  dalam melayani kepentingan  dunia pendidikan harus  menjadi  tradisi birokrasi organisasi pendidikan.  Hindari pelayanan yang lambat atau informasi serba mendadak dalam dunia pendidikan karena  dunia pendidikan menurut Asep Deni adalah dunia perang yang sebenarnya.   Kegaduhan dan gonjang ganjing dalam internal kapal perang harus ditiadakan karena harus konsen pada  persiapan perang. Semua birokrasi dan sistem yang ada dalam kapal perang harus sudah serba siap.
Dalam tataran makro (baca: pemerintah) terlihat ambigu dan kurang “dewasa” dalam mengelola  sistem pendidikan kita. Melihat  realitas ini setidaknya  dinas pendidikan  dalam tataran  meso dan mikro harus bertindak cerdas,  cepat, tepat dan tuntas dalam memberikan layanan  informasi pendidikan.  Stabilitas mental   komunitas tenaga pendidik dan kependidikan yang terkena  dampak ambiguitas kebijakan dari pemerintah akan lebih terkondisikan bila  birokrasi pendidikan di daerah tanggap .   Sekali lagi, karena dunia pendidikan adalah dunia kapal perang maka semuanya harus  siaga 1, terutama birokrasi yang menangani pendidikan.

Dalam hal ini kecerdasan kadisdik di setiap daerah sangat menentukan untuk mensuport informasi   dinamika pendidikan  pada para aparatur pendidikan dibawah.  Bahkan, dinas pendidikan harus  mengidentifikasi  para aparatur  berprestasi dan aparatur bermasalah. Reward, rotasi dan pemberhentian   harus menjadi   alternatif dalam membenahi aparatur pendidikan sesuai yang tertuang dalam aturan yang ada.  Begitupun pemerintah pusat semoga tidak menjadikan dunia pendidikan sebagai kapal pesiar yang menghamburkan trilyunan anggaran yang tidak tepat sasaran dan beraroma transaksional.

Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Ketua PGRI Kota Sukabumi
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Ketua PGRI Kota Sukabumi

Ketua PGRI Kota Sukabumi



 
Support : Matematika SMA | PGRI Citamiang | Catatan
Copyright © 2013. PGRI Kota Sukabumi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger