Mungkin hanya di Indonesia sistem pendidikan menggunakan dua kurikulum yang berbeda dan ini tertuang dalam Permendikbud No 160 Tahun 2014, plus diberlakukan di tanggung waktu. Waktu menjelang pembagian raport semester ganjil menuju semester genap. Pemerintah sepertinya menganggap dunia pendidikan adalah ibarat kapal induk yang besar maka diperlukan dua mesin turbo yakni mesin Kurtilas (K-13) dan mesin KTSP (K-06). Nampaknya, bagi Mendikbud Anies Baswedan mesin Kurtilas dan mesin KTSP adalah dua mesin yang tepat untuk menggerakan kapal induk pendidikan Indonesia saat ini.
Sebelumnya Mendikbud Anies Baswedan dihadapan seluruh kepala dinas pendidikan se Indonesia menjelaskan bahwa “Mengubah pendidikan itu seperti mengubah arah kapal tanker, bukan seperti mengubah arah speed boat.” Artinya, begitu sulit dan tidak semudah membalikan arah speed boat yang kecil dan lincah. Dibutuhkan upaya maksimal bersama semua elemen bangsa yang memiliki niat baik untuk membangun bangsa ini lebih maju. Realitas pendidikan Indonesia saat ini menurut Anies Baswedan berada dalam kondisi “gawat darurat”.
Dalam konsep Mendikbud Anies Baswedan ada 7 elemen ekosistem pendidikan yang harus ideal, yakni : 1) Sekolah kondusif, 2) Guru penyemangat, 3) Orangtua terlibat, 4) Warga peduli, 5) Industri suportif, 6) Organisasi profesi suportif dan 7) Pemerintah suportif. Ketujuh elemen ini menjadi hal yang sangat penting untuk mensuport gairah dinamika dunia pendidikan agar terus bertumbuh lebih kondusif. Keseriusan ketujuh elemen akan menetukan bagaimana pendidikan Indonesia kedepan, apakah masih gawat darurat atau sudah mapan?
Selanjutnya Mendikbud Anies Baswedan menjelaskan setidaknya ada 7 jalan revolusi mental untuk memperbiki pendidikan Indonesia yakni : 1) Mengubah paradigma pendidikan “berdaya saing” menjadi pendidikan “mandiri dan berkepribadian”, 2) Merancang kurikulum berbasis karakter dari kearifan lokal serta vokasi yang beragam berdasarkan kebutuhan geografis daerah dan bakat anak, 3) Menciptakan proses belajar yang menumbuhkan kemauan belajar dari dalam diri anak, 4) Memberi kepercayaan penuh pada guru untuk mengelola suasana dan proses belajar pada anak, 5) Memberdayakan orangtua untuk terlibat pada proses tumbuh kembang anak, 6) Membantu kepala sekolah untuk menjadi pemimpin yang melayani warga sekolah, 7) Menyederhanakan birokrasi dan regulasi pendidikan diimbangi pendampinan pengawasan.
Dari tujuh elemen ekosistem pendidikan dan tujuh jalan revolusi mental nampaknya cukup menjawab permasalahan pendidikan di Indonesia, namun bagaimana aplikasinya? Ini yang sulit dan membutuhkan dukungan semua pihak terutama pemerintah. Kenyataannya masyarakat dan para pekerja dunia pendidikan merasakan adanya gonjang-ganjing, terutama masalah kurikulum 2013. Datangnya mendadak, dianggap setengah matang, dihentikan bagi yang belum tiga semester dan dilanjutkan bagi yang sudah tiga semester menjalankan kurikulum 2013.
Permendikbud No 160 tahun 2014 meneguhkan bahwa pendidikan kita hari ini menggunakan dua kurikulum. Baru dalam sejarah NKRI ada dua kurikulum yang berlaku dalam kurun waktu yang sama. Realitas ini politis, pragmatis atau jalan tengah? Ini sebuah dinamika yang tak perlu sebenarnya karena menimbulkan “kegaduhan” dalam entitas pendidikan yang seharusnya sangat kondusif. Kita berharap dunia pendidikan dapat terhindar dari tertularnya kegaduhan-kegaduhan politik yang menggejala saat ini.
Cendikiawan Kota Sukabumi Asep Deni mengatakan “Dunia pendidikan adalah kapal perang, bukan kapal pesiar”. Konsekuensinya adalah semua orang yang terlibat dalam dimensi pendidikan terutama dalam birokrasi pendidikan harus selalu dalam keadan “siaga perang”. Berleha-leha, santai, tidur dan banyak rekreasi hanya ada di kapal pesiar. Dalam kapal perang (baca: birokrasi pendidikan) semuanya harus siaga dan gerak cepat menangani berbagai hal urgen.
Kecepatan, kecekatan dan kualitas terbaik dalam melayani kepentingan dunia pendidikan harus menjadi tradisi birokrasi organisasi pendidikan. Hindari pelayanan yang lambat atau informasi serba mendadak dalam dunia pendidikan karena dunia pendidikan menurut Asep Deni adalah dunia perang yang sebenarnya. Kegaduhan dan gonjang ganjing dalam internal kapal perang harus ditiadakan karena harus konsen pada persiapan perang. Semua birokrasi dan sistem yang ada dalam kapal perang harus sudah serba siap.
Dalam tataran makro (baca: pemerintah) terlihat ambigu dan kurang “dewasa” dalam mengelola sistem pendidikan kita. Melihat realitas ini setidaknya dinas pendidikan dalam tataran meso dan mikro harus bertindak cerdas, cepat, tepat dan tuntas dalam memberikan layanan informasi pendidikan. Stabilitas mental komunitas tenaga pendidik dan kependidikan yang terkena dampak ambiguitas kebijakan dari pemerintah akan lebih terkondisikan bila birokrasi pendidikan di daerah tanggap . Sekali lagi, karena dunia pendidikan adalah dunia kapal perang maka semuanya harus siaga 1, terutama birokrasi yang menangani pendidikan.
Dalam hal ini kecerdasan kadisdik di setiap daerah sangat menentukan untuk mensuport informasi dinamika pendidikan pada para aparatur pendidikan dibawah. Bahkan, dinas pendidikan harus mengidentifikasi para aparatur berprestasi dan aparatur bermasalah. Reward, rotasi dan pemberhentian harus menjadi alternatif dalam membenahi aparatur pendidikan sesuai yang tertuang dalam aturan yang ada. Begitupun pemerintah pusat semoga tidak menjadikan dunia pendidikan sebagai kapal pesiar yang menghamburkan trilyunan anggaran yang tidak tepat sasaran dan beraroma transaksional.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
Ketua PGRI Kota Sukabumi
Dunia Pendidikan Bukan Kapal Pesiar
Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 19.56
Baca juga artikel di bawah ini
Jika Anda menyukai artikel di atas silahkan klik di sini, atau berlangganan gratis artikel terbaru, ketik e-mail Anda di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar