Home » » Membangun PGRI Kota Dari Start Negatif

Membangun PGRI Kota Dari Start Negatif

Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 20.57

Saepurahman Udung Ketua PC PGRI Cikole menyatakan, “Membangun PGRI Kota Sukabumi hari ini bergerak dari start negatif karena  citra PGRI Kota Sukabumi dalam pandangan guru pada umumnya cenderung negatif”. Selanjutnya Udung menjelaskan bahwa perjuangan PGRI kedepan akan sangat berat karena harus mengembalikan kepercayaan para anggota yang cenderung mayoritas apatis.  Pernyataan Udung  nampaknya menjelaskan realitas citra PGRI Kota selama ini.

Dalam analisa  penulis ada beberapa hal yang menyebabkan citra PGRI Kota Sukabumi merosot dimata para anggota dan guru non anggota.  Hal pertama yang menjadi dasar para guru kurang responsif terhadap PGRI adalah mengenai kepengurusan PGRI. Kepengurusan PGRI idealnya diisi oleh para guru bukan para  birokrat/tenaga kependidikan.  Ini tidak sesuai dengan UU No 14 Tahun 2005, yang menyatakan  bahwa organisasi profesi guru didirikan oleh para guru dan diurus oleh para guru.  Sejak rejim orde baru ketidakhadiran guru dalam  kepengurusan harian organiasi sudah mengemuka dan sampai saat ini mayoritas di beberapa daerah masih tetap demikian.

Hal inilah yang kemudian menjadi diskusi dan kegelisahan para guru, seolah rumah mereka diisi oleh “orang lain”. Bahkan, diantara  latar belakang lahirnya organiasi profesi seperti IGI, FSGI, FGII, PGI diantaranya karena mereka merasa tak dapat mengekspresikan idealisme  dan gagasan-gagasan cerdasnya tentang keguruan karena terbungkam oleh eksistensi birokrat yang ada di PGRI. Ketua PGRI dan para pengurusnya  cenderung atasan mereka (baca; para guru) secara struktural dalam birokrasi pendidikan.

Satriawan Dosen UNJ menjelaskan bahwa  organisasi guru (apapun bentuk dan namanya) mesti bukan tempat pelarian para tokoh, pejabat & mantan pejabat, politisi dan pensiunan untuk berorganisasi. Bukan pula tempat untuk penyucian dosa agar dilihat bermanfaat bagi masyarakat. Atau arena bagi mereka yang orientasinya ingin populer dan dikenal oleh publik. Organisasi profesi guru harus menyentuh urat nadi para pendidik di republik ini. Bukan lagi arena politis untuk menyiapkan seseorang menjadi kepala sekolah, kepala dinas pendidikan atau anggota legislatif. Pelibatan guru sampai pada tingkat grass root mutlak adanya, bukan sekedar menarik iuran-iuran wajib yang akhirnyapun dikorupsi. Organisasi guru adalah kumpulan para resi yang tak lagi bertapa di kahyangan, namun sudah turun ke dunia nyata untuk membereskan kerusakan moral anak bangsa.

Ungkapn dosen UNJ ini nampaknya menjelaskan tentang potret buram PGRI dalam tataran makro yang sebenarnya adalah realitas tak terbantahkan dalam organisasi PGRI di  daerah.  Organiasi PGRI menjadi tempat menghimpun kekuatan  guru yang dapat dimanfaatkan para petualang  untuk kepentingan pribadi bukan kepentingan guru secara kolektif. Citra  negatif ini menjadi melekat kuat dalam body PGRI dan menjadi beban  tidak ringan untuk membangun PGRI yang lebih independen, non partisan dan bermanfaat pada anggotanya.

Kedua, PGRI Kota Sukabumi memiliki konflik internal pra dan pasca pemilukada 2013. Ketua PGRI Kota Sukabumi bersaing secara politik dengan  wakil walikota Sukabumi dan dua-duanya adalah mantan guru SD yang jadi anggota PGRI. Ketika Ketua PGRI bersaing secara politik  dengan dewan penasehat PGRI dalam pemilukada seolah-olah menjelaskan pada publik guru bahwa “orangtua” di PGRI sudah tak  sejalan  dan ini akan berpengaruh pada kedaulatan PGRI.

Perpecahan politik founding father PGRI antara Sanusi Harjadireja dengan Mulyona dilihat grass root adalah sebuah  dua tarian politik mau tidak mau  harus diikuti. Seolah-olah  PGRI harus dipecah dua sesuai dengan idolanya masing-masing. Ini menjadi mendingan ketika salah satu dari mereka ada yang unggul menjadi orang nomor satu di Kota Sukabumi. Masalahnya adalah dua-duanya tersungkur dalam ombak politik yang tidak menguntungkan. Akhirnya dua jagoan  dari guru terjuntai tanpa daya dan keluar dari  autoritas kekuasaan.
Hal yang lebih menarik dari kedua tokoh besar ini adalah keterlibatannya dalam partai politik. Ini adalah hal manusiawi karena keduanya adalah orang besar yang  pantas bermain dalam  ranah politik. Masalahnya adalah PGRI bukan ranah politik melainkan ranah idealisme para guru yang  jauh dari intrik dan ketidakjujuran. Anehnya Ketua PGRI Kota Sukabumi yang sampai saat ini menjabat adalah anggota partai politik.  Dewan penasehat PGRI saat ini adalah anggota partai politik. Runyam sudah PGRI Kota Sukabumi.  Padahal dalam AD/ART anggota PGRI bukan anggota partai politik dan tidak partisan.
Ketiga masalah transparansi keuangan. Masalah keuangan ini adalah masalah yang penting juga mengingat jumlahnya  tidak sedikit, terutama keuangan  pembangunan gedung. Dalam satu sekolah setingkat  SMA  para guru bisa menitifkan uang sejumlah rp. 50.000.000 an. Ini bukan jumlah yang sedikit, kali sekian sekolah. Sementara gedung yang dijanjikan belum ada realisasinya. Bagi  anggota yang tidak  mengerti tentang masalah sulitnya  manajemen keuangan internal di tubuh PGRI akan mudah untuk suudhon.

Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Ketua  PGRI Kota Sukabumi)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Ketua PGRI Kota Sukabumi

Ketua PGRI Kota Sukabumi



 
Support : Matematika SMA | PGRI Citamiang | Catatan
Copyright © 2013. PGRI Kota Sukabumi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger