Saepurahman Udung Ketua PC PGRI Cikole menyatakan, “Membangun PGRI Kota Sukabumi hari ini bergerak dari start negatif karena citra PGRI Kota Sukabumi dalam pandangan guru pada umumnya cenderung negatif”. Selanjutnya Udung menjelaskan bahwa perjuangan PGRI kedepan akan sangat berat karena harus mengembalikan kepercayaan para anggota yang cenderung mayoritas apatis. Pernyataan Udung nampaknya menjelaskan realitas citra PGRI Kota selama ini.
Dalam analisa penulis ada beberapa hal yang menyebabkan citra PGRI Kota Sukabumi merosot dimata para anggota dan guru non anggota. Hal pertama yang menjadi dasar para guru kurang responsif terhadap PGRI adalah mengenai kepengurusan PGRI. Kepengurusan PGRI idealnya diisi oleh para guru bukan para birokrat/tenaga kependidikan. Ini tidak sesuai dengan UU No 14 Tahun 2005, yang menyatakan bahwa organisasi profesi guru didirikan oleh para guru dan diurus oleh para guru. Sejak rejim orde baru ketidakhadiran guru dalam kepengurusan harian organiasi sudah mengemuka dan sampai saat ini mayoritas di beberapa daerah masih tetap demikian.
Hal inilah yang kemudian menjadi diskusi dan kegelisahan para guru, seolah rumah mereka diisi oleh “orang lain”. Bahkan, diantara latar belakang lahirnya organiasi profesi seperti IGI, FSGI, FGII, PGI diantaranya karena mereka merasa tak dapat mengekspresikan idealisme dan gagasan-gagasan cerdasnya tentang keguruan karena terbungkam oleh eksistensi birokrat yang ada di PGRI. Ketua PGRI dan para pengurusnya cenderung atasan mereka (baca; para guru) secara struktural dalam birokrasi pendidikan.
Satriawan Dosen UNJ menjelaskan bahwa organisasi guru (apapun bentuk dan namanya) mesti bukan tempat pelarian para tokoh, pejabat & mantan pejabat, politisi dan pensiunan untuk berorganisasi. Bukan pula tempat untuk penyucian dosa agar dilihat bermanfaat bagi masyarakat. Atau arena bagi mereka yang orientasinya ingin populer dan dikenal oleh publik. Organisasi profesi guru harus menyentuh urat nadi para pendidik di republik ini. Bukan lagi arena politis untuk menyiapkan seseorang menjadi kepala sekolah, kepala dinas pendidikan atau anggota legislatif. Pelibatan guru sampai pada tingkat grass root mutlak adanya, bukan sekedar menarik iuran-iuran wajib yang akhirnyapun dikorupsi. Organisasi guru adalah kumpulan para resi yang tak lagi bertapa di kahyangan, namun sudah turun ke dunia nyata untuk membereskan kerusakan moral anak bangsa.
Ungkapn dosen UNJ ini nampaknya menjelaskan tentang potret buram PGRI dalam tataran makro yang sebenarnya adalah realitas tak terbantahkan dalam organisasi PGRI di daerah. Organiasi PGRI menjadi tempat menghimpun kekuatan guru yang dapat dimanfaatkan para petualang untuk kepentingan pribadi bukan kepentingan guru secara kolektif. Citra negatif ini menjadi melekat kuat dalam body PGRI dan menjadi beban tidak ringan untuk membangun PGRI yang lebih independen, non partisan dan bermanfaat pada anggotanya.
Kedua, PGRI Kota Sukabumi memiliki konflik internal pra dan pasca pemilukada 2013. Ketua PGRI Kota Sukabumi bersaing secara politik dengan wakil walikota Sukabumi dan dua-duanya adalah mantan guru SD yang jadi anggota PGRI. Ketika Ketua PGRI bersaing secara politik dengan dewan penasehat PGRI dalam pemilukada seolah-olah menjelaskan pada publik guru bahwa “orangtua” di PGRI sudah tak sejalan dan ini akan berpengaruh pada kedaulatan PGRI.
Perpecahan politik founding father PGRI antara Sanusi Harjadireja dengan Mulyona dilihat grass root adalah sebuah dua tarian politik mau tidak mau harus diikuti. Seolah-olah PGRI harus dipecah dua sesuai dengan idolanya masing-masing. Ini menjadi mendingan ketika salah satu dari mereka ada yang unggul menjadi orang nomor satu di Kota Sukabumi. Masalahnya adalah dua-duanya tersungkur dalam ombak politik yang tidak menguntungkan. Akhirnya dua jagoan dari guru terjuntai tanpa daya dan keluar dari autoritas kekuasaan.
Hal yang lebih menarik dari kedua tokoh besar ini adalah keterlibatannya dalam partai politik. Ini adalah hal manusiawi karena keduanya adalah orang besar yang pantas bermain dalam ranah politik. Masalahnya adalah PGRI bukan ranah politik melainkan ranah idealisme para guru yang jauh dari intrik dan ketidakjujuran. Anehnya Ketua PGRI Kota Sukabumi yang sampai saat ini menjabat adalah anggota partai politik. Dewan penasehat PGRI saat ini adalah anggota partai politik. Runyam sudah PGRI Kota Sukabumi. Padahal dalam AD/ART anggota PGRI bukan anggota partai politik dan tidak partisan.
Ketiga masalah transparansi keuangan. Masalah keuangan ini adalah masalah yang penting juga mengingat jumlahnya tidak sedikit, terutama keuangan pembangunan gedung. Dalam satu sekolah setingkat SMA para guru bisa menitifkan uang sejumlah rp. 50.000.000 an. Ini bukan jumlah yang sedikit, kali sekian sekolah. Sementara gedung yang dijanjikan belum ada realisasinya. Bagi anggota yang tidak mengerti tentang masalah sulitnya manajemen keuangan internal di tubuh PGRI akan mudah untuk suudhon.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Membangun PGRI Kota Dari Start Negatif
Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 20.57
Baca juga artikel di bawah ini
Jika Anda menyukai artikel di atas silahkan klik di sini, atau berlangganan gratis artikel terbaru, ketik e-mail Anda di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar