Home » » Metamorphosis Organisasi PGRI

Metamorphosis Organisasi PGRI

Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 21.04

Ketika para guru berjajar berpanas-panas mengikuti upacara dan para  pejabat lainnya berteduh dipodium kehormatan, mereka  senang-senang saja. Apalagi bila pejabat, gubernur, walikota  yang ada didepannya pernah menjadi muridnya. Para guru akan bahagia dan  bangga sekalipun kepanasan atau sedikit kehujanan. Guru adalah komunitas pendidik yang harus memiliki tingkat kebahagiaan, kerelaan  dan rasa bangga akan kemajuan muridnya-muridnya (masyarakat) walaupun seumur hidup/sampai pensiun Ia tetap menjadi guru.
Guru harus terus mengembangkan diri sebagai aktor cerdas dan gesit dalam mendidik anak bangsa, bukan sebaliknya serba kedodoran dalam mengikuti dinamika percepatan zaman. Guru yang  tak mau belajar bisa ketinggalan “kereta” bahkan ketinggalan “pesawat” di zaman serba cepat berubah ini. Guru wajib mengikuti “irama” zaman, termasuk  pentingnya membangun   organisasi profesi yang kuat berdaulat, bermanfaat dan berderajat.  Dalam organisasi profesi ini para guru harus merefleksi peran dan eksisitensinya.

Guru  adalah  social engginering bagi kehidupan publik yang dimulai dari peran formal di lembaga pendidikan dan non formal dimasyarakat. Apapun yang terjadi pada masyarakat kita hari ini,  terkait erat dengan peran  guru (baca: pendidikan). Guru adalah perekayasa sosial, budaya dan politik. Semua orang penting dinegeri ini  dipastikan pernah mengenyam pendidikan dan  ada kontribusi guru didalamnya.  Sitiran  pada  para guru menyatakan, “Baik buruknya masyarakat di negeri ini tergantung gurunya”.  Konsekuensi logisnya, baik buruknya guru juga tergantung  karakter individu dan organisasi profesinya.   Berdirinya beragam organisasi profesi seperti PGRI, IGI, FSGI, SEGI, FGII adalah sebuah  keniscayaan. Fungsi organisasi profesi guru diantaranya adalah media sharing ekperiences  diantara sesama guru sehingga terbentuk komunitas pembelajar dewasa dalam satu profesi. Menyamakan persepsi, konsolidasi dan membangun spirit dedikasi pada anak negeri khususnya.

Keluarga besar para guru yang terhimpun dalam organisasi profesi PGRI khususnya harus makin bermanfaat bagi publik  dan anggotanya.  Persaingan sehat antara organisasi profesi guru  menjadi realitas dinamis yang positif.  Semua organisasi profesi guru memiliki keunggulan dan kekurangan.  Hal yang paling banyak dikritik organisasi lain kepada PGRI adalah maraknya birokrat didalam tubuh PGRI sejak dulu.  Ini menjadi sebuah  dilematika internal PGRI. Kini PGRI pasca reformasi sudah berubah  bentuk (bermetamorphosis) menjadi organisasi yang harus diurus oleh guru sendiri (Baca UUGD BAB I, pasal 1 ayat 13).
Organisasi profesi PGRI  adalah organisasi yang secara historis terus bermetamorfosis. Organisasi ini awalnya tak dapat dipisahkan dengan para guru dan birokrat.  Dalam perjalanannya mengalami beragam dinamika mulai dari permasalahan keanggotaan, kepengurusan, finansial dan fasilitas yang dimiliki.  PGRI dipersepsi publik sudah  tidak independen lagi karena didalamnya bukan murni beranggotakan guru. Bahkan tidak sedikit yang diurus oleh birokrat.

Menurut Ketua PGRI Kota Sukabumi DR (Cand) Sanusi Harjadireja mengapa dulu PGRI dikelola melibatkan banyak birokrat? Setidaknya ada tiga alasan historis strategis, mengapa dahulu PGRI membutuhkan eksistensi birokrat? Masuknya birokrat dalam tubuh PGRI adalah sebuah kebutuhan organisasi. Pertama, seorang birokrat yang memegang autoritas di  PGRI akan mampu merekrut  anggota sebanyak-banyaknya, kedua,  birokrat cenderung memiliki   fasilitas  (sarana)  yang dapat dimanfaatkan untuk PGRI dan ketiga masalah sumber daya manusia dalam organisasi.
Guru yang identik dengan Oemar Bakri pada saat itu  minus fasilitas, relasi dan SDM. Kehadiran birokrat menjadi pilihan pragmatis dilematis untuk  membangun  organisasi PGRI yang realitasnya tak memungkinkan  cepat membesar tanpa “mereka”.  “SDM” komunitas guru secara  keseluruhan masih membutuhkan “bantuan” birokrat.  Sosok birokrat pada saat itu (orla dan orba) menjadi  alternatif membangun  tumbuh kembangnya organisasi PGRI.

Kini menurut DR (Cand) Sanusi Harjadireja, PGRI sesuai hasil kongres PGRI yang ke XXI di Gelora Bung Karno, Jakarta, sudah harus dikembalikan  pada pemiliknya, yakni para guru. Para birokrat dulu hanya “diminta tolong” untuk membantu membuat  PGRI menjadi lebih besar dan kuat. Daya rekrut keanggotaan, fasilitas dan SDM birokrat menjadi kebutuhan organisasi profesi saat itu. Kini mayoritas guru sudah sarjana bahkan magister, kesejahteraan guru sudah cukup baik.  Berdirinya organisasi PGRI dari guru oleh guru untuk guru  sudah sangat memungkinkan. 

Begitupun menurut Kadisdik Kota Sukabumi Dudi Fathul Jawad bahwa gairah dan ghiroh para guru harus terekspresikan dan terealisasikan  dengan baik di organisasi PGRI.  Dia menjelaskan metamorphosis organisasi PGRI berlangsung setidaknya dalam lima fase, pra kemerdekaan, masa kemerdekaan, masa berkembangnya ideologi komunis (orla), masa dominasi  partai tertentu (orba) dan kini masa reformasi. Kompetensi dan profesionalitas komunitas para guru harus terus ditumbuhkembangkan sebagai akuntabilitas terhadap bangsa dan negara.

Menurut penulis, sudah saatnya pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan yang lebih  “ramah” pada  para guru agar tumbuh kapasitasnya, tumbuh kesejahteraannya, tumbuh manfaatnya dan bersinergi cantik dengan program pemerintah. Termasuk kehadiran para pemimpin (kepala daerah) dalam komunitas para  guru dalam berbagai seremoni (besar atau kecil) adalah sebuah keharusan, karena ini miniatur simbiosis mutualisma antara guru dan pemerintah daerah.

Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Ketua  PGRI Kota Sukabumi)
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Ketua PGRI Kota Sukabumi

Ketua PGRI Kota Sukabumi



 
Support : Matematika SMA | PGRI Citamiang | Catatan
Copyright © 2013. PGRI Kota Sukabumi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger