Ketika para guru berjajar berpanas-panas mengikuti upacara dan para pejabat lainnya berteduh dipodium kehormatan, mereka senang-senang saja. Apalagi bila pejabat, gubernur, walikota yang ada didepannya pernah menjadi muridnya. Para guru akan bahagia dan bangga sekalipun kepanasan atau sedikit kehujanan. Guru adalah komunitas pendidik yang harus memiliki tingkat kebahagiaan, kerelaan dan rasa bangga akan kemajuan muridnya-muridnya (masyarakat) walaupun seumur hidup/sampai pensiun Ia tetap menjadi guru.
Guru harus terus mengembangkan diri sebagai aktor cerdas dan gesit dalam mendidik anak bangsa, bukan sebaliknya serba kedodoran dalam mengikuti dinamika percepatan zaman. Guru yang tak mau belajar bisa ketinggalan “kereta” bahkan ketinggalan “pesawat” di zaman serba cepat berubah ini. Guru wajib mengikuti “irama” zaman, termasuk pentingnya membangun organisasi profesi yang kuat berdaulat, bermanfaat dan berderajat. Dalam organisasi profesi ini para guru harus merefleksi peran dan eksisitensinya.
Guru adalah social engginering bagi kehidupan publik yang dimulai dari peran formal di lembaga pendidikan dan non formal dimasyarakat. Apapun yang terjadi pada masyarakat kita hari ini, terkait erat dengan peran guru (baca: pendidikan). Guru adalah perekayasa sosial, budaya dan politik. Semua orang penting dinegeri ini dipastikan pernah mengenyam pendidikan dan ada kontribusi guru didalamnya. Sitiran pada para guru menyatakan, “Baik buruknya masyarakat di negeri ini tergantung gurunya”. Konsekuensi logisnya, baik buruknya guru juga tergantung karakter individu dan organisasi profesinya. Berdirinya beragam organisasi profesi seperti PGRI, IGI, FSGI, SEGI, FGII adalah sebuah keniscayaan. Fungsi organisasi profesi guru diantaranya adalah media sharing ekperiences diantara sesama guru sehingga terbentuk komunitas pembelajar dewasa dalam satu profesi. Menyamakan persepsi, konsolidasi dan membangun spirit dedikasi pada anak negeri khususnya.
Keluarga besar para guru yang terhimpun dalam organisasi profesi PGRI khususnya harus makin bermanfaat bagi publik dan anggotanya. Persaingan sehat antara organisasi profesi guru menjadi realitas dinamis yang positif. Semua organisasi profesi guru memiliki keunggulan dan kekurangan. Hal yang paling banyak dikritik organisasi lain kepada PGRI adalah maraknya birokrat didalam tubuh PGRI sejak dulu. Ini menjadi sebuah dilematika internal PGRI. Kini PGRI pasca reformasi sudah berubah bentuk (bermetamorphosis) menjadi organisasi yang harus diurus oleh guru sendiri (Baca UUGD BAB I, pasal 1 ayat 13).
Organisasi profesi PGRI adalah organisasi yang secara historis terus bermetamorfosis. Organisasi ini awalnya tak dapat dipisahkan dengan para guru dan birokrat. Dalam perjalanannya mengalami beragam dinamika mulai dari permasalahan keanggotaan, kepengurusan, finansial dan fasilitas yang dimiliki. PGRI dipersepsi publik sudah tidak independen lagi karena didalamnya bukan murni beranggotakan guru. Bahkan tidak sedikit yang diurus oleh birokrat.
Menurut Ketua PGRI Kota Sukabumi DR (Cand) Sanusi Harjadireja mengapa dulu PGRI dikelola melibatkan banyak birokrat? Setidaknya ada tiga alasan historis strategis, mengapa dahulu PGRI membutuhkan eksistensi birokrat? Masuknya birokrat dalam tubuh PGRI adalah sebuah kebutuhan organisasi. Pertama, seorang birokrat yang memegang autoritas di PGRI akan mampu merekrut anggota sebanyak-banyaknya, kedua, birokrat cenderung memiliki fasilitas (sarana) yang dapat dimanfaatkan untuk PGRI dan ketiga masalah sumber daya manusia dalam organisasi.
Guru yang identik dengan Oemar Bakri pada saat itu minus fasilitas, relasi dan SDM. Kehadiran birokrat menjadi pilihan pragmatis dilematis untuk membangun organisasi PGRI yang realitasnya tak memungkinkan cepat membesar tanpa “mereka”. “SDM” komunitas guru secara keseluruhan masih membutuhkan “bantuan” birokrat. Sosok birokrat pada saat itu (orla dan orba) menjadi alternatif membangun tumbuh kembangnya organisasi PGRI.
Kini menurut DR (Cand) Sanusi Harjadireja, PGRI sesuai hasil kongres PGRI yang ke XXI di Gelora Bung Karno, Jakarta, sudah harus dikembalikan pada pemiliknya, yakni para guru. Para birokrat dulu hanya “diminta tolong” untuk membantu membuat PGRI menjadi lebih besar dan kuat. Daya rekrut keanggotaan, fasilitas dan SDM birokrat menjadi kebutuhan organisasi profesi saat itu. Kini mayoritas guru sudah sarjana bahkan magister, kesejahteraan guru sudah cukup baik. Berdirinya organisasi PGRI dari guru oleh guru untuk guru sudah sangat memungkinkan.
Begitupun menurut Kadisdik Kota Sukabumi Dudi Fathul Jawad bahwa gairah dan ghiroh para guru harus terekspresikan dan terealisasikan dengan baik di organisasi PGRI. Dia menjelaskan metamorphosis organisasi PGRI berlangsung setidaknya dalam lima fase, pra kemerdekaan, masa kemerdekaan, masa berkembangnya ideologi komunis (orla), masa dominasi partai tertentu (orba) dan kini masa reformasi. Kompetensi dan profesionalitas komunitas para guru harus terus ditumbuhkembangkan sebagai akuntabilitas terhadap bangsa dan negara.
Menurut penulis, sudah saatnya pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan yang lebih “ramah” pada para guru agar tumbuh kapasitasnya, tumbuh kesejahteraannya, tumbuh manfaatnya dan bersinergi cantik dengan program pemerintah. Termasuk kehadiran para pemimpin (kepala daerah) dalam komunitas para guru dalam berbagai seremoni (besar atau kecil) adalah sebuah keharusan, karena ini miniatur simbiosis mutualisma antara guru dan pemerintah daerah.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Metamorphosis Organisasi PGRI
Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 21.04
Baca juga artikel di bawah ini
Jika Anda menyukai artikel di atas silahkan klik di sini, atau berlangganan gratis artikel terbaru, ketik e-mail Anda di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar