“Hari Guru datangi gurumu, cium tangannya dan tanya kabarnya. Banyak yang belum berubah kondisinya sementara kita (murid) sudah berubah luar biasa," ini ungkapan yang didengungkan Menbudikdasmen Anies Baswedan menjelang Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT PGRI yang jatuh pada 25 Nopember. Anies Baswedan menghendaki ada “demo” kolektif masyarakat dalam memuliakan para guru. Ia pernah mengatakan jangan main-main dengan dunia pendidikan dan jangan main-main dengan para guru.
Anies nampaknya cukup cerdas dalam memahami peran para guru. Ia paham bahwa tanpa guru tidak ada golongan terpelajar yang cerdas sekaliber Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Natsir, Agus Salim, Kihajar Dewantara dan ribuan tokoh pergerakan lainnya. Bahkan bukankah Bung Karno Presiden pertama RI adalah anak seorang guru Sekolah Dasar (SD) yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo yang bertugas di Sekolah Dasar Pribumi Singaraja, Bali? Ini sebuah realitas tak terbantahkan bahwa para guru adalah “pemerdeka” bagi bangsa ini.
Namun, ditengah gerakan memuliakan guru yang digagas Anies Baswedan nampakanya para guru juga mesti introsfeksi secara serius. Sudah sejauh mana peran dan kontribusi guru-guru masa kini terhadap beragam elemen bangsa? DR. H. M. Entang praktisi pendidikan Universitas Pakuan Bogor menuliskan bahwa realitasnya masih ada, penegak hukum yang bersahabat dengan penjahat, wakil rakyat mengabaikan aspirasi konstituen, pejabat menindas rakyat, pedagang menipu konsumen, dokter memeras pasien, sarjana kehutanan menggunduli hutan, ahli perbankan membobol bank, ahli agama menodai kitab suci.
Bukankah beragam realitas anomali diatas berkaitan juga dengan peran guru? Adakah guru/dosen yang mengajarkan kebohongan? Adakah guru yang asal-asalan menjadi guru atau menjadi guru karena “kabawa palid”? Adakah guru PNS yang seumur hidup menjadi guru bahkan tak peduli dengan hari besar guru dan organisasi profesi guru? Benarkah ada guru yang seumur menjadi guru tak pernah ikut upacara hari senin dan hari guru? Adakah guru yang hanya berorientasi tunjangan sertifikasi dibanding dedikasi dan pengembangan diri? Apakah para guru mengidap gangguan solidaritas dan teralienasi dari idealisme keguruannya? Benarkah guru adalah komunitas yang susah diatur dan susah diam/tertib pada saat acara-acara penting? Jawabannya mungkin bisa ditanyakan pada peserta didik dan masyarakat.
Semoga spirit Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT PGRI tahun 2014 ini menjadi momen reintrosfeksi para guru dan juga pemerintah dalam menghargai para guru, terutama pemerintah daerah yang bersentuhan langsung dengan para guru. Seorang kepala daerah harus sangat “akrab” dengan para guru. Ini kunci keberkahan dan perubahan. Guru yang dedikatif kompeten dengan kepala daerah yang apresiatif aspiratif proaktif akan membentuk iklim harmoni.
Ketua PGRI Kota Sukabumi DR (Cand) Sanusia Harjadireja mengatakan negeri ini sedang dilanda banyak masalah diantaranya masalah moralitas, solidaritas dan materialitas. Moral, kekompakan dan pemujaan materi menjadi trend kekinian yang cenderung mengabaikan idealitas berbangsa. Mari para guru untuk terus belajar, meningkatkan kekompakan, dedikasi dan mensykuri nikmat profesi yang diamanahkan negara.
All out mengabdi sebagai guru tidak akan rugi karena peserta didik akan merekamnya secara abadi. “Sertifikasi” peserta didik sebenarnya lebih “mensejahterakan” secara bathiniah dibanding sertifikasi pemerintah karena sertifikasi peserta didik terkoneksi dengan Tuhannya. Guru yang sehat itu penting tapi guru yang benar-benar “sehat” itu jauh lebih penting. Selamat Hari Guru Nasional.
Oleh : Dudung Koswara, M.Pd
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)
Hari Guru Nasional, Hari Introsfeksi
Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 19.37
Baca juga artikel di bawah ini
Jika Anda menyukai artikel di atas silahkan klik di sini, atau berlangganan gratis artikel terbaru, ketik e-mail Anda di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar