Tidak ada ketua ranting di tingkat sekolah dari tenaga kependidikan dan tidak ada ketua pengurus cabang ditingkat kecamatan dari tenaga kependidikan, jadi ketua ranting atau ketua PC PGRI tidak ada yang dari tenaga kependidikan semua dari guru. Ini sudah menjelaskan kedaulatan PGRI di level bawah sudah sesuai UU No 14 Tahun 2005 pasal 1 ayat 13, bahwa organiasi guru didirikan oleh guru dan diurus (diketuai) oleh guru. Namun ditingkat atas (kota/kabupaten) ketua PGRI-nya banyak dari tenaga kependidikan. Ini realitas sesat pikir para anggota PGRI yang menyerahkan kedaulatan pada “orang lain”. PGRI berdaulat di ranting dan cabang tapi feodalis ditingkat atas (kota/kabupaten), nampak imunitasnya “jebol” oleh ekspansi cerdas birokrasi kependidikan.
Di beberapa kota/kabupaten ketua PGRI berasal dari pegawai tata usaha atau sebuat saja pegawai struktural dinas pendidikan mulai dari kasi, kabag bahkan ada kepala dinas pendidikan menjadi ketua PGRI. Ini realitas yang menggambarkan para guru anggota PGRI belum punya kedaulatan diri untuk mengurus dirinya sendiri. Para anggota PGRI masih bermental terjajah, inferior dan menyerahkan jamaahnya diurus oleh ketua yang bukan guru.
Tidaklah heran risiko yang muncul kemudian PGRI dijadikan kendaraan politik bahkan ada beberapa daerah ketua PGRI dan penasehat PGRI terjun dalam politik praktis. Bila ketuanya dari guru hal ini tidak akan terjadi karena guru dan organisasi PGRI non partisan. Ketika organiasi PGRI lebih berwajah alat politik dan alat karier seseorang maka dinamika penderitaan guru dibawah akan terabaikan karena mindsetnya cenderung keatas. Menyemir penguasa dan melupakan guru dibawah yang penuh “debu” permasalahan.
Ungkapan Kepala SMAN 3 Kota Sukabumi menyatakan manusia cenderung mudah mengganggukan kepala saat seorang penceramah menyampaikan tausyiah. Namun tidak mudah merenungkan apa yang telah disampaikan. Semua orang bisa menganggukan kepala namun tidak semua orang memilki kemampuan merenungkan/reflektif dari apa yang ada. Menurut penulis, ini bisa saja terjadi dikalangan para guru ketika ada “cermah” dari birokrat cepat mengangguk tanpa merenungkan secara mendalam. Begitupun dalam organisasi profesi, terkadang guru “mengangguk” saja ketika organisasi “diminta” oleh para birokrat sebagai ruang ekspresinya.
Kolumnis Hamdan Ramdhani dalam Koran Suara Merdeka menuliskan, mandulnya PGRI dalam memperjuangkan nasib anggotanya karena faktor kepemimpinan organisasi tersebut nakhodanya tidak berprofesi sebagai guru. Untuk membangun sebuah organisasi guru yang dapat dikelola secara profesional, diperlukan kesadaran dari para pengurus maupun anggota untuk segera kembali ke “khittah”- nya. Organisasi guru sebaiknya dikelola (dipimpin) oleh guru sehingga ruh gurunya dari atas sampai bawah akan mengental dan legitimet.
Guru SMAN 4 Kota Sukabumi M Khoirul Hadi mengatakan "Kalau PGRI tidak bisa memberi kontribusi terhadap kepentingan guru dan sebaliknya malah menjadikan guru sebagai asesoris, ya dari pada sakit hati lebih baik buat organisasi yang benar-benar independent.” Ini sebuah persepsi yang menjelaskan bahwa PGRI harus terus berbenah diri. Dalam bahasa guru SMPN 13 Kota Sukabumi Tjatja Danoewidjaja sebaiknya para guru harus, "Wawuh, wanoh jeung bogoh ka PGRI" Artinya para guru akan lebih kenal dan sayang pada PGRI bila diurus oleh belahan jiwanya.
Menyikapi realitas beragam permasalahan guru Mendikbud Anies Baswedan menyebut pendidikan Indonesia saat ini gawat darurat. Dalam Tujuh Elemen Ekosisitem Pendidikan untuk memperbaiki kondisi gawat darurat pendidikan Indonesia saat ini adalah pentingnya organiasi profesi guru yang suportif (elemen ke enam). Pentingnya organisasi profesi suportif versi Mendikbud Anies Baswedan tentu saja hanya bisa diharapkan bila organisasi profesi guru berdaulat dan berkualitas. Karena, hanya guru yang tahu dirinya, kutahu yang kumau.
Pesan terakhir dari penulis, walaupun PGRI diurus oleh guru belum tentu 100 persen lebih baik, namun setidaknya kita mengawali sebuah “perjalanan” organisasi profesi pada jalan yang seharusnya. Rumah mewah milik orang lain tidak lebih indah dan bermanfaat dari rumah sempit milik sendiri. Bila PGRI dipimpin oleh tenaga kependidikan maka PGRI masih “ngontrak” dan nomaden.
Sementara dalam peradaban manusia tidak ada peradaban manju bila nomaden. Orang taat itu baik namun tidak lebih baik dari orang waras. Kewarasan adalah sebuah eksplorasi kemerdekaan berpikir yang tak tersekat oleh hegemoni birokrasi. Guru adalah pejuang idealisme, bila guru sudah tidak idealis maka siapa yang bertanggungjawab untuk memperbaikinya. Politisi? Birokrasi? Wallahualam.
PGRI Ideal Dibawah, “Ilegal” Diatas
Written By Amin Herwansyah on Minggu, 18 Januari 2015 | 21.13
Baca juga artikel di bawah ini
Jika Anda menyukai artikel di atas silahkan klik di sini, atau berlangganan gratis artikel terbaru, ketik e-mail Anda di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar